Lelaki itu. Aku melihatnya
lagi. Ditempat yang selalu berbeda dan kegiatannya yang dilakukannya pun
berbeda. Di ruang music, ia memainkan piano itu dengan begitu apik. Di ruang
kesenian, ia tengah melukis rumah dengan isinya. Di lapangan ia bermain bola dengan
semangat, bahkan mencetak gol beberapa kali.
Dan di kelas, aku melihatnya
tengah.. belajar? Anio, ia tengah tertidur dengan santainya. Namja yang kupikir
adalah namja sempurna, ternyata juga memiliki sisi yang lain. Aku tersenyum
melihatnya.
Jika soal belajar, ternyata
kami sama. Aku tidak pandai belajar. Karena aku tak pernah memiliki waktu untuk
belajar. Kenapa? Karena aku harus keluar masuk RS. Ok, stop. No comment.
“Lee Kikwang…” Miss Kim
memanggilnya dengan kesal – namanya Lee Kikwang – karena ia tak pernah focus
saat mata pelajarannya.
“Ne, seongsamnim?” bahkan
saat menjawab pun ia terlihat keren dimataku. Ia hanya mengerjab dan menatap
Miss Kim dengan santai.
“Can you say it again? We
aren’t use Korean here, but English.” Ucap Miss Kim dengan kesal.
“Yes, teacher. I’m ready to
answer your question.” Kali ini ia berdiri. Aku bahkan bisa melihat tubuhnya
yang lumayan tinggi dan sedikit kurus. Aku hanya tersenyum melihatnya.
“Ok, can you open you book?
Start from page 77, number 8.”
“You are my blablabla, only
you in my heart until the end.” Lee Kikwang membaca soalnya. “The word to
complete sentence is C. Inspiration.” Jawab Lee Ki dan kemudian duduk.
“Why? Why not A, B, or D?”
“Emn, because A for past
tense, B for present continues, and D for Past
continues. So, I think the word’s true is B. inspiration.” Jelas Lee Ki.
“Ok, we’ll end for today.
Enjoy your next class.” Ucap Miss Kim tersenyum mengakhiri kelas kami,
danmelangkah pergi dengan senyum yang masih mengembang.
“Wow,, daebak. Ya Lee Ki. Apa
kau iokut les?” Tanya teman-temannya
yang langsung menghampirinya.
“Geojo. Leave me alone.”
Jawab Lee Ki dan meletakkan kembali kepalanya ke atas meja.
Mereka pun meninggalkan Lee
Ki. Mereka tak ingin membangunkan singa tidur tentunya.
0000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000
Aku kembali melihatnya yang
sedang bermain piano di ruang music. Music yang indah. Mungkin ia tak akan
pernah menyadari ada aku yang selalu berdiri di dekatnya dan memperhatikannya.
Tapi aku cukup puas dengan apa yang kulakukan, aku tak bisa berharap lebih, itu
serakah namanya kata eomma.
“Nugu?” Tanya nya tiba-tiba
dan menoleh.
Untungnya aku telah
menghindar terlebih dahulu, sehingga ia tak akan tahu. J mianhae Lee Ki –nama
panggilanku untuknya–.
0000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000
Di lain hari, aku
memperhatikannya yang tengah meyelesaikan lukisannya. Aku semngikuti pembuatan
lukisan itu. Ia selalu berfikir keras saat membuatnya. Entah coretan apa yng
akan ia gunakan. Padahal hanya membuat sebuah rumah beserta anggota keluarga
yang ada di rumahnya.
Ku lihat Lee Ki menoleh ke
arahku dengan tiba-tiba.
Aku menahan nafasku karena
sempat bertemu mata dengannya. Buru-buru aku menghindar dan berlindung di balik
pintu. Kurasa sudah aman, aku pun ingin melihatnya lagi sebelum aku pulang.
Tapi… ia tak ada. Kemana dia? Apa ia bisa pergi secepat itu?
Aku pun membalikkan tubuhku.
“Ai, gamchagya.” Aku terkejut
melihat sosoknya yang telah ada dihadapanku, dan tanpa sengaja tubuhku tak
seimbang.
Namun tangan kokoh itu
menyangga tubuhku yang kurus ini. Ia begitu kuat, karena mampu menyanggaku
dengan satu tangan.
Bertatapan beberapa detik
dengannya bagaikan bertahun-tahun.
“Nuguyeo?” suaranya yang
berat sedikit menyadarkanku akan keadaan yang sebenarnya.
“Ye??” aku bingung. Aahh,
benar, akubelum memperkenalkan diriku sendiri. Aku sampai lupa.
“Neo ireum mwoya (Siapa namamu)?” Tanya nya lagi
dengan tegas dan menyandarkan tubuhku pada tembok. Ia seperti mengunciku agar
tak lari -mungkin- padahal aku tak akan rela lari darinya. Yoohoo..
“Aahh,, haejoo-eyo. Seo
haejeo.” Aku tak berani menatap matanya yang melihatku dengan begitu lekat.
“Mian, Lee Ki.. nan geunyang…”
“Lee Ki??” Tanya nya dan
membulatkan matanya. Oohh, nomu gyeopda. Seperti anak anjing. Anio, ia lebih
lucu.
Aish, menyebalkan. Mengapa
mulutku tak bisa mengerem? Lee Ki adalah panggilanku untuknya. Harusnya aku tak
mengucapkannya, meski namanya Lee Kikwang.
“Shireo (Kau tak suka)? Aku
tak akan memanggilmu dengan sebutan itu.”
Aku pikir ia berhak marah
Karen aku memotong namanya dengan seenaknya saja. Tapi ini sungguh diluar
dugaanku. Ia tersenyum. Benarkah? Waahh,, ini sebuah keajaiban. Lee Ki
tersenyum padaku.
“Joha.” Senyumnya sangat
lembut dan sederhana. Memeperlihatkan deretan giginya yang begitu apik, dengan
kombinasi bibir atas tipis dan bibir bawah sedikit tebal. Aahh, kupikir mati
sekarang aku akan rela setelah melihatnya. Tapi tidak, aku ingin lebih lama
melihatnya. Aku ingin hidup lebih lama. J
Lee Ki’s side.
Lee Ki? Kupikir itu nama yang
unik. Lebih singkat, dan renyah untuk didengar. Atau hanya suaranya yang memang
renyah didengar. Mwola, mwola, mwola. Aku hanya menyukai nama yang ia sebutkan.
Lee Ki. Geurae, mulai sekarang aku Lee Ki. Aku pun tersenyum padanya. Lebih
tepatnya hanya sekedar menarik garis bibirku ke belakang. Tapi kenapa ia
terlihat begitu? Apa ia terlalu bahagia?
“Ya,,ya,, yaa..” aku
mengguncangnya beberapa kali untuk menyadarkannya.
“Eo,, ne? wae Lee Ki?” Tanya
nya dengan malu-malu. Bahkan pipinya kini bersemu merah jambu. Atau ini hanya
lah pemerah pipi? Yang sering dipakai noona.
Aku pun sedikit menjauhkan
tubuhku darinya dan tak menguncinya lagi. “Apa kau yang sering melihatku?”
“Eo,, ne..” jawabnya dengan
pasrah, mungkin karena sudah terlanjut ketahuan olehku. Melihat tingkahnya yang
langsung menunduk ke bawah, aku hanya tersenyum.
“Kau bisa masuk jika ingin
melihat-lihat kedalam.” Tawarku. Mwoya igeu chigeum? Sejak kapan aku menjadi
baik pada seseorang. It’s ok, just once.
Lee Ki’s side end.
Writer’s side.
Bermula dari satu kali,
kemudian berubah menjadi 2x, 3x, dan seterusnya hingga menjadi sebuah
kebiasaan. Benar.
Sekali, dua kali, Haejoo
masuk ke ruangan dimana ada Lee Ki. Hingga itu menjadi sebuah kebiasaan. Dan
mereka menjadi teman akrab. Benarkah hanya menjadi teman akrab. Seorang lelaki
dan wanita tak kan pernah bisa menjadi sahabat, karena pasti aka nada cinta
diantara mereka.
“Haejoo-ya. Come here, aku
ingin menunjukkanmu sesuatu.” Ucap Lee Ki dengan semangat dan senyum yang
mengembang. Yang semakin lama seperti angin segar bagi Haejoo.
“Mwoga?” Tanya Haejoo yang
selalu mengiyakan semua kata Lee Ki. Bahkan selalu bersemangat jika ia disuruh
melakukan sesuatu.
“Aku memiliki sesuatu untuk
kutunjukkan padamu.”
“Jinjja…?”
Haejoo’s side.
“Aku memiliki sesuatu untuk
kutunjukkan padamu.” Ucap Lee Ki dengan senyumnya yang selalu menghiasi
suasana.
“Jinjja?” Aku sangat senang,
sungguh. Ini pertama kalinya untukku. Melihatny ayang begitu bersemangat,
membuatku bernafas dengan lega. Seperti tak ada kesesakan yang kerap kali
kurasakan.
“Eo,, tada…” ia membuka
pembungkus lukisan disampingnya.
Aku melihatnya dengan haru.
Aku menutup mulutku karena begitu terkejut. Bahkan mataku mulai berkaca-kaca.
Sejak kapan ia mulai membuatnya. Setahuku ia selalu memperhatikan yang lain.
“Lee Ki,, itu… “ aku tak
sanggup melanjutkan kalimatku. Dan menatap Lee Ki yang tersenyum bahagia, namun
rautnya langsung berubah.
“Wae? Shireo?” Tanya nya
ragu, mungkin Karena melihat mata ku yang mulai basah.
“Anio, joha. Nomu joha.”
Jawabku dan menghapus air mata bahagia ini.
“lalu, kenapa kau menangis?”
Tanya nya bingung.
“Aku terharu, juga terlalu
bahagia melihatnya.” Bagaimana tidak, ia menggambarku yang tengah tersenyum,
seakan melihatnya. Sejak kapan ia tahu aku sering melihatnya dengan diam-diam?
Apa mungkin ia juga tahu perasaanku padanya. Haruskah kukatakan?
“Daengida. Kupikir kau tak
akan suka.” Ucap dan mengacak rambutku pelan, seperti anak kucing. Aku suka
diperlakukan olehnya seperti itu. Menurutku itu ada sebah perhatiannya yang tersembunyi.
“Aigoo, naedongsaeng nomu gyeopda (Ya ampun, adikku sangat menggemaskan).”
Tambah nya sambil mencubit kedua pipiku.
Mwo? Dongsaeng? Apa dia baru
saja menyebutku dongsaengnya?
“Wae? Shireo? Kau tak ingin
menjadi dongsaengku?” Tanya Lee Ki yang jelas tahu akan perubahan wajahku saat
ini.
“Anio,, aku senang.” Jawabku
singkat. Paling tidak aku memiliki status, meski dianggap seperti adiknya.
Kupikir ini lebih dari cukup. Bisa dekat dengannya, dan Lee Ki menganggapku
sebagai adiknya. Tentu aku harus menyusukurinya bukan? Aku tak boleh tamak.
Benar..
Tapi kenapa hatiku tak dapat
menerimanya? Rasanya ada sesuatu yang mengganjal disini. Di hatiku. Terasa
hatiku yang tiba-tiba sakit, dan tubuhku juga lemas.
“Baguslah, mulai sekarang panggil aku oppa.
O,,pa,,” ucap Lee Ki dan menyuruh ku memanggilnya oppa.
“Shireo… kita hanya terpaut
beberapa minggu saja, kenapa harus memanggilmu oppa.” Aku menolaknya dan
mempoutkan bibirku. Tentu aku tak benar-benar menolaknya, karena ingin
menggodanya saja. Bahkan dengan senang hati aku akan memanggilnya oppa. Sarang
haneun uri oppa, oppa,,oppa,,oppa. Jjang.
Cup…
Mwoya?? Aku merasakanada
sesuatu yang aneh. Sesuatu yang tiba-tiba menjalar sampai ke perutku.
Sepertinya banyak kupu-kupu yang sedang beterbangan di dalam sana. Aku
membelalakkan mataku lebar-lebar. Benarkah ini? Dia, Lee Ki, kini menciumku?
Anio, bukan aku tak suka, maksudku aku hanya sedang bingung. Eottogaji? Apa
yang harus kulakukan? Sejujurnya aku sangat minim pengalaman ini. Ini adalah
ciuman pertamaku. My first kiss.
Apa yang harus kulakukan? Apa
aku harus menutup mataku, atau,,
Aku mendorongnya untuk
menjauhiku. Bukan, bukan karena aku tak suka. Tapi perasaan aneh ini membuatku,
sedikit gugup. Dan aku tak dapat bernafas. Aku bingung. Lee Ki juga tampaknya terkejut.
Apa dia akan marah padaku. Mungkin ia marah. Lebih baik aku pergi, sebelum aku
melihatnya marah atau malu padaku.
Aku pun berlari keluar dari
ruangan itu. Aku menuju kelas, mengambil tasku. Aku ingin pulang. Aku malu
padanya, aku juga bingung. Apa yang harus kulakukan padanya nanti.
“HAejoo-ya. Eodiga? Miss Kim
akan masuk sebentar lagi.” Seru Sekyoong, teman sebangkuku.
Tapi aku tak menghiraukannya.
Bahkan Lee Ki. Aku juga tak menghiraukannya, yang memanggilku dan mengikutiku
sampai lobi depan sekolah.
Aku pun langsung naik mobil
yang biasa menungguku pulang dari sekolah.
“apa anda sakit, Agassi?”
Tanya song ahjussi, supir keluarga kami. Supir yang khusus mengantar ku kemana.
“Anio, ahjussi. Mungkin aku
sedikit gugup.” Jawabku, namun aku juga merasakan badanku yang juga lemas dan
keringat dingin yang mulai keluar.
Ahjussi menggendong ku untuk
masuk kerumah, karena aku tak sanggup lagi untuk berjalan.
“Aigoo,, ada apa ini supir
song?” Tanya eomma yang sangat khawatir. Aku masih bisa mendengar suara eomma
yang begitu panic melihatku digendong oleh song ahjussi.
Sayup-sayup kudengar suara
eomma yang memanggil-manggil namaku. Dan lama kelamaan suara itu menghilang.
Aku takut. Eomma, aku sangat takut. Lee Ki oppa, aku sangat takut.
000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000
Entah sejak kapan aku ada
disini. Di ruangan yang begitu membuka mata, aku akan sangat mengenalinya.
Bahkan sebelum aku membuka mata, aku tahu ini dimana. Right, RS –yang sangat
kubenci- yang pengap ini. Kulihat sekitarku.
Eomma, sosok yang harus
kulihat untuk pertama kalinya. Setidaknya aku masih bisa melihatnya. Melihat
wajahnya yang begitu lelah. Mungkin ia terlalu banyak menangis belakangan ini.
Aku tahu itu, hal ini tentu sangat sulit baginya. Melihat anak perempuan
bungsunya yang selalu membuatnya khawatir setiap saat. Bahkan harus
mempersiakan mentalnya setiap saat.
“Eomma…” aku mencoba
mengeluarkan suaranku, namun yang keluar hanya lah seperti erangan di telinga
mereka semua.
“Haejoo-ya.. oohh, uri ttal. Gwaenchana.
Semua akan baik-baik saja.” Kata eomma sangat khawatir. Ia selalu membesarkan
hatiku, padahal hantinya lah yang paling sakit saat melihatku lemah dan drop
seperti ini.
“Haejoo-ya. Gwaenchana?”
Tanya appa dan mendekatiku. ia selalu tampak tegar dihadapan kami semua. Tapi
aku tahu ia juga menderita dengan keadaanku.
Aku hanya mampu mengangguk
dan tersenyum. Paling tidak itu bisa mengurangi rasa khawatir mereka semua.
“Ya,, Our princess. Akhirnya
kau bangun setelah beberapa hari.” Ucap seorang lelaki yang sangat ku kenal
suaranya.
Akuingin melihatnya. Melihat
namja yang lama tak kulihat. Oppa. Uri oppa. Aku tersenyum lemah padanya,
sebenarnya aku ingin menunjukkan senyum bahagiaku, tapi tak tahu malah air mata
yang keluar. Mungkin karena aku terlalu bahagia melihatnya.
“Oppa…” panggilku lemah.
“Ya,, wae? Bogoshipo?”
ucapnya yang selalu penuh percaya diri.
“Anbogosipo, oppa.” Jawabku
lemah.
Hatiku mencelos seketika saat
melihat air matanya keluar. Bahkan oppa yang selalu penuh percaya diri,
bahagia, iap un bisa mengeluarkan air mata. Aku hanya mampu menyunggingkan
senyumku padanya.
“Oppaneun dongsaengiereul
nomu bogosipo.” Ucapnya dan membelai rambutku. Ia tampak sangat sedih.
Ada apa ini? Kenapa semuanya
tampak sangat bersedih. Bahkan mereka semua menangis. Gwaenchana haejoo-ya. Aku
memiliki firasat buruk. Apa yang akan terjadi padaku? Berapa lama lagi.
“Oppa,, wae? Aku baik-baik
saja. Aku akan sehat kembali, oppa. Uljima..” ucapku menahan tangis. Paling
tidak aku bisa berpurapura baik-baik saja dihadapan mereka. Dihadapan
orang-orang yang kukasihi.
“Eo,,, kau akan sehat
kembali, kita akan bermain seperti dulu lagi. Gichi..” jawab oppa menahan
tangisnya, kemudian ia pun berbalik. Mungkin ia menghapus air matanya.
“Eomma,,, nan gwaencahan. Aku
tak merasakan sakit apapun. Gwaenchana.. gwaenchana eomma.” Ucapku pada eomma,
yang seketika langsung memelukku.
“Kau akan segera sehat, nak.
Kau adalah kebanggaan eomma, appa, dan oppa.” Ucap eomma namun masih tetap
menangis.
“Uljima.” Ucap appa tegas dan
berusaha menahan air matanya. Aku tahu itu. Aku sangat mengenalnya. Saat ia
meninggikan suaranya, ia sedang menahan tangisnya. Dan suaranya bergetar.
“Appa, kita akan bisa pergi
piknik lagi, kan. Memancing bersama, eomma memasak, narang opparang akan
bermain sepeda. Gichii… kita harus melakukannya setelah aku keluar dari RS
ini.” Ucap ku pada mereka semua dengan sesenggukan. Aku juga tak ingin pergi.
Aku ingin selamanya bersama mereka, tak terpisah.
“Benar, Yesung-ah… bersiap
untuk kalah dari adikmu saat kalian balap sepeda. Appa akan menangkap banyak
ikan kita makan.” Jawab Appa yang kini benar-benar telah mengeluarkan
airmatanya.
“Aku tak akan kalah.” Jawab
Oppa sesenggukan juga.
“Eomma akan memasak yang
paling enak seperti biasa.” Timpal eomma.
Aku menganggukkan kepala.
Suster memanggil eomma dan
appa. Mungkin ini ada hubungannya denganku, atau hanya membicarakan tentang
kepulanganku nantinya.
“Oppa, kapan oppa kembali
dari inggris? Bukankah kau sedang mengambil ujian untuk gelar profesormu.
Memang bisa bolos seenaknya?” tanyaku padanya.
“Ya,, aku sangat merindukan
adikku. Arra.”
“Nado,,, nomu bogoshipda.
Secepatnya oppa harus kembali. Aku baik-baik saja, geokjeongma (Jangan
Khawatir).”
Writer’s side
Diluar ruangan,,, ibu haejoo
tampak sangat terpukul dengan perkataan dokter barusan. Bahkan suaminya sampai
harus menopangnya agar tak jatuh. Mereka berdua sama-sama terguncang.
“Kami benar-benar tak dapat
melakukan apapun.” Ucap dokter itu. Ia adalah dokter yang menangani haejoo
selama beberapa tahun ini. “Sejujurnya sangat susah untuk mengangkat kankernya,
karena jika kami angkat, maka haejoo malah tak bisa bertahan walau hanya
sehari.” Tambahnya lagi. Meski ia juga tak tega, tapi ia juga harus jujur
terhadap keluarga pasien mengenai keadaan yang sebenarnya.
Ibu haejoo tak mampu berkata
apapun. Ia hanya menangis sambil dipegangi oleh suaminya.
“Dokter, apa taka da cara
lain?” Tanya Ayah haejoo, berusaha untuk optimis walau hanya sedikit. Ia juga
sangat terpukul sebenarnya, tapi salah satu dari mereka harus berusaha tegar
agar ada yang menguatkan yang lainnya.
“Mianhamnida. Tapi tak ada
cara. Sekarang ini, kita hanya bisa melakukan apa yang ingin dilakukan Haejoo,
setidaknya ini dapat membahagiakan hidupnya di akhir. Saya juga menyarankan
agar ia taklagi di RS, karena hanya akan membuatnya semakin drop. Buatlah
kenangan-kenangan indah bersamanya, agar taka da penyesalan nantinya.” Jelas
dokter itu. Sebenarnya ia tak tega harus mengatakannya.
“Yeobo, kita bawa dia
amerika. Atau jerman, ku dengar pengobatan disana lebih bagus yeobo. Kita tak
seharusnya menyerah terhadap Haejoo. Gaja, kita bawa saja.”
“Yeoboo,,,” Ayah Haejoo
berusaha menenangkan istrinya.
“Kami juga telah berdiskusi
dengan para ahli di amerika dan jerman. Dan jawaban mereka juga sama.” Timpal
sang dokter.
Mendengar itu membuat tangis
ibu haejoo makin keras.
000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000
Haejoo’s side.
Senang rasanya aku bisa
langsung pulang. Inilah yang kuinginkan. Setidaknya aku tak akan menyesal.
Writer’s side
“Chukahamnida…” seru yesung
(oppa kandung haejoo) saat pintu terbuka dan memberikan bunga kesukaan Haejoo,
daisy,.
“Gomawo, oppa.” Haejoo
menerimanya dengan sangat senang, dan langsung mencium bunga itu.
“Haejoo-ya…” panggil
sekyoong. Bahkan ia juga turut memeriahkan pesta penyambutan untuk haejoo. Ia
langsung memeluk sahabatnya itu. “Chukae, mian aku tidak tahu kau sedang
dirawat di RS.” Tambahnya menyesal.
“Gwaenchana.” Jawab Haejoo
dan tersenyum lebar.
“Agassi,, chukae.” Ucap song
ahjumma. Song ahjussi juga tersenyum haru, bahkan mereka berdua juga menangis.
“Gomawo, ahjumma. Maaf sudah
membuat kalian semua khawatir.” Ucap haejoo dan membungkuk dalam-dalam.
“Ayo kita makan..” usul
yesung sebelum semuanya terlarut dalam emosi kesedihan.
“Benar, aku juga lapparr,,,,”
sambung sekyuoong yang memang suka makan.
“Eo,,, appa lupa bilang.”
Ayah Haejoo menepuk jidatnya.
“Ada apa, appa? Apa ada
rapat?” Tanya Haejoo yang juga terkejut.
“Appa cuti selama sebulan.”
Jawab ayahnya dengan santai, dan itu mampu mencairkan suasana. Mereka semua pun
tertawa.
00000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000
Haejoo’s side.
Aku duduk di ayunan di taman
rumah. Udara malam ini sangat dingin. Aku hanya menghela nafas dan memandang
langit malam. Meski gelap, namun banyak bintang terang yang emnghiasinya mala
mini.
Lee Ki,,, bogoshipo. Apa
kabarmu? Apa kau sehat? Apa kau makan dengan baik? Apa kau juga tidur dengan
nyenyak? Dan apakah kau merindukanku.
Grep.
Selimut? Kulihat orang yang
memberikanku selimut ini, dan aku tersenyum.
“Udara sangat dingin mala
mini. Apa kau tak kedinginan?” Tanya oppa sambil menggosok-gosokkan tangannya
dan menempelkannya pada pipiku untuk menyalurkan rasa hangat.
Aku tersenyum melihat sosok
Yesung oppa. Ia cuek, namun ia sangat peduli padaku melalui tindakannya. Ia
jarang mengatkan saying padaku, tapi ia selalu menunjukkan kalau ia sangat
menyayangiku.
“Gomawo, oppa.” Ucapku dan
menyandarkan kepalaku pada bahunya yang lebar. Dan oppa pun merangkulku dengan
saying. Lama tak kurasakan rangkulan oppa.
“Cheonma. Aku akan lakukan
apapun untuk nae dongsaeng.” Jawabnya dengan suara parau. Bisa ku tebak kalau
saat ini pasti matanya berkaca-kaca. Akku tak berani melihatnya.
“Oppa,,, aku bahagia menjadi
adikmu.” Ucapku penuh rasa syukur. Rasanya sudah sangat lama sejak terakhir
kali kami mengobrol bersama.
“Aku juga senang menjadi
oppamu,,, aku akan menjagamu. Selamanya.” Jawabnya, dan kurasakan ia mengecup
puncak kepalaku. Satu hal yang sangat jarang ia lakukan.
“Oppa,,, bisakah kita menjadi
oppa-dongsaeng di kehidupan selanjutnya?” tanyaku, dan kini air mataku mulai
keluar. Aku ingin menahannya, tapi sangat sakit bukan saat kau menahan tangis.
“Geureomyeon. Kita akan tetap
menjadi dongsaeng-oppa dikehidupan selanjutnya, dikehidupan selanjutnya lagi,
dikehidupan selanjutnya lagi, dikehi..”
“Geumanhae…” potongku dan
tersenyum simpul. “Oppa,,, kau tahu bukan kalau aku menyayangimu, oppa.”
“Emn,,,” oppa mengangguk, dan
air matanya jatuh di tanganku.
“Nomu, nomu, nomu saranghae.
Kau juga sangat menyayangiku, kan?”
“Emn..” kembali ia hanya
mengangguk.
“Jika aku pergi nanti,
uljima. Biarkan aku pergi dengan bahagia.” Ucap ku dengan berani.
“Ya,,,” oppa langsung
membantakku tak suka dan kini ia melihat wajahku yang telah basah air mata.
“Mwoseunsoriya? Uljima, kau akan sehat kembali. Aku jamin itu.” Ia pun
memelukku.
Jika aku akan sehat kembali,
kenapa ia malah menangis? “Jika, oppa. Bukankah kubilang jika. Aku ingin kau
tersenyum. Arra. Bisakah kau melakukannya untukku, oppa?”
“Oppa,,, aku lelah. Aku juga
tak ingin membuat kalian khawatir. Tapi aku tak dapa t berbuat apapun.”
“Mianhae, Haejoo-ya.
Mianhae..” kini oppa malah makin menangis. Baru kali ini kulihat Yesung oppa
yang biasanya tegar, cuek, dan asal-asalan, menangis sejadinya.
“Oppa,,, oppa,, uljima.
Uljima oppa. Aku takut oppa… sangat takut.” Ucapku yang akhirnya menumpahkan
semuanya. “Aku tak ingin mati oppa. Aku ingin bersama kalian.” Tangisku kini
benar-benar pecah.
Dan oppa, ia juga menangis
bersama ku. Ia memelukku, mengelus punggungku agar aku tenang. Tapi bagaimana
aku bisa berhenti menangis, sementara ia juga menangis.
“Aku ingin bersama kalian
oppa. Aku tak ingin pergi kemana pun, oppa. Aku takut, oppa. Kenapa harus aku
oppa? Apa aku adlah seorang penghianat Negara sebelumnya.”
“Ania,, kau adalah putri yang
baik hati. Kau adalah yang terbaik dimasa lalu.” Jawab oppa masih memelukku.
“Oppa,, oppa..”
Mungkin aku terlalu tamak.
Aku bisa hidup sampai saat ini harusnya bisa bersyukur. Tapi ketamakanku ini
semakin bertambah saat aku mulai mengenalnya, Lee Ki.
Aku mulai menjalankan
aktivitasku. Dan ini pertama kalinya aku ke sekolah setelah 1 minggu aku tak
pergi. Aku masuk ke kelas, dan langsung mendapat sambutan dari teman-teman
terdekatku.
Aku terenyum pada mereka dan
sedikit mengobrol dengan mereka. Dan kulihat ia yang cuek padaku. Seperti
biasa, ia tidur. Dan tak menghiraukan kedatanganku.
Bogoshipo. Ucapku dalam hati
sambil memandangnya.
Aku mencarinya,, mencari
sosok Lee Ki yang telah lama tak kulihat. Aku sangat merindukannya. Dan kini
aku dapat melihatnya. Ia tengah berdiri di dekat lemari yang biasa untuk
menyimpan lukisan-lukisannya jika telah selesai.
Aku pun berlari untuk
menghampirinya. “Lee Ki…” panggilku,,, namun. Mungkin ini bukan waktu yang
tepat. Sepertinya aku merusak sesuatu. Merusak sebuah keadaan yang benar-benar
privasi. Ia tengah bersama gadis lain. Dan mereka. BERCIUMAN.
Ada apa ini? Kenapa sangat
sakit. Aku pun buru-buru balik badan. Hajima, jangan memanggilku. Kumohon.
Biarkan aku pergi tanpa harus mendengar suaramu. Jika tidak aku benar-benar
akan menangis saat ini.
“Wae haejoo-ya??”
Kuhapus air mataku, dan
berbalik lagi menatapnya. Kusunggingkan senyumku senatural mungkin agar ia tak
melihat perubahan pada wajahku tadi.
“Oppa, sepertinya temanmu
ingin bicara penting pada mu. Aku akan kembali lagi. Kanda…” ucapnya dengan
imut dihadapan Lee Ki. Lee Ki ku. Baiklah, aku tak memiliki hubungan apapun.
Sehingga tak bisa disebut sebagai Lee Ki ku.
“Dah, eonni.” Pamitnya
padaku. Memangnya aku eonni mu? Sejak kapan? Aku hanya menarik bibirku kebelakang.
“Wae geurae?” Tanya nya.
Dingin. Mungkin ia marah karena aku mengganggunya. Nadanya tak sehangat dulu
lagi. Kemana pergi Lee Ki yang kukenal.
“Mian, apa kau marah?” Tanya
ku takut.
“Hmn..” dan dia hanya
ber-hmn.
Aish,Haejoo babo. Tentu saja
ia marah, kau sudah mengganggu kesenangannya. “Mianhae. Kalau begitu lebih baik
aku pergi.” Ucapku lemah. Sakit rasanya. Ia bersikap dingin dalam tempo satu
minggu. Padahal aku sangat merindukannya. Merindukan senyumnya yang sederhana
itu. Merindukan suaranya yang hangat jika bicara padaku.
“Bicaralah.” Ucapnya
tiba-tiba dan menarik tanganku untuk mencegah ku pergi. Mungkin. “Bukankah kau
sudah disini, dank au terlanjur merusak semuanya. Setidaknya buat agar kau tak
sia-sia merusaknya.” Kata-katanya masih dingin, namun ada rasa hangat
didalamnya.
Mwoya? Bagaimana ini? Apa
yang harus kukatakan? Apa harus kukatakan kalau aku merindukannya. Aish, mana
boleh begitu.
“Lee Ki. Sebenarnya ada yang
ingin kukatakan. Tapi aku lupa.” Jawabku akhirnya dan menunjukkan wajahku yang
paling bodoh sambil menggarut kepala belakang ku yang tak gatal.
Ia membulatkan matanya.
Ekspresi yang kusuka darinya. Bukan hanya itu. Bahkan semua yang dilakukannya.
“Meoya,,, tsk.” Ia mungkin
terlihat kesal. Tapi dapat melihatnya lagi,,, sesuatu hal yang ingin ku
syukuri. tanpa kusadari, aku telah memeluknya. Aku terkejut, mungkin ia pun
lebih terkejut lagi.
Meski tak mendapat balasan
pelukan darinya, gwaenchana. Aku hanya perlu bersyukur. Ku sunggungkan senyumku
padanya. “Op..pa..” aku memanggilnya oppa dengan gagu. Sejujurnya aku merinding
mendengar mulutku mengatakannya.
Ia hanya menatapku. Mungkin
ia masih bingung.
“Aish,,,” Aku memukul
lengannya. “Lihat ini,,, aku merinding memanggilmu oppa.” Kutunjukkan tanganku
yang memang merinding. Sebenarnya bukan karena memanggil Lee Ki “oppa”. Tapi
entah kenapa, ada didekatnya membuatku merinding. J
“Ya,,” Ia pun mulai tersenyum
dan mengacak rambutku pelan.
Benar, sentuhan yang
sederhana namun sangat kurindukan. “Aahh, madda. Aku ingin mengajakmu bermain,
aku ingin sekali ke taman bermain.” Ku amati wajahnya, apakah ada yang berubah.
Tapi tak ada perubahan dari raut wajahnya. “Kau mau menemaniku?”
“Eonje???” Tanya nya
langsung.
What? Apa aku tak salah
dengar, ia langsung menanyakan kapan. Jujur saja, mengajak pergi adalah ide ku
yang paling mendadak.
“Emn,,, bagaimana kalau nanti
malam?” Tanya ku. “Ada juga yang ingin kuberitahu padamu.”
“Nanti malam? Hmn…” ok,
firasatku ia tak akan bisa. “Mianhae, aku sudah terlanjur janji akan datang ke
pesta ulan tahun dia malam ini.”
Bingo,,, firasatku tak pernah
salah mengenai dia. Hanya kusinggungkan senyumku. Senyum kecewa. Mungkin. But,
apapun itu aku telah mencobanya.
“Bagaimana kalau besok?”
tawarnya, mungkin ia melihat wajahku yang kecewa.
Aku hanya menggeleng. Aku
hanya merasa malam ini lah waktunya. Tapi sudahlah,, “Aku hanya bisa mala mini.
Lupakan saja, aku bisa pergi sendiri.” Mungkin terlihat memaksa, tapi aku tak
bisa mengubah suasana hatiku tiba-tiba.
“Haejoo-ya…” sekyung
memanggilku. “Pangeran kuda putih datang menjemputmu.” Serunya yang begitu
exited.
“Nugu??”
“Yesung oppa. Hihii..”
setelah mengatakan itu, ia pergi. Mungkin untuk menemui oppa. Ia adalah fans
berat Yesung oppa.
“Mwoya,, tumben sekali.”
Gumamku dankulihat lagi Lee Ki.
“Kenapa kau tak pergi dengan
pangeran kuda putih mu itu?” ucapnya dan membalikkan tubuhnya, membereskan
alat-alat lukisnya.
Mwoya? Untuk apa ak pergi
dengan oppa ku sendiri. Cih,, “Baiklah,, ganda.” Ucap ku sedikit kesal. Tapi ia
tak menoleh untuk melihat ku pergi..
“Gandaa,,,” Seru ku lagi
untuk menarik perhatiannya.
“Sikkeuleoun (Berisik). Pergi
lah kalau ingin pergi.” Ucapnya, namun tak sedikitpun melihatku.
“Geurae,, ganda.” Aku pun
berlalu dari situ.
00000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000
Malam ini, aku benar-benar
datang ke taman hiburan ini. Aku melihat banyak pasangan yang datang kesini.
Actuly, aku iri. Sangat. Aku ingin datang dengan Lee Ki. Lee Ki can you saw me?
Aku bahkan tak bisa bernafas jika tak melihatmu.
“Ya,, kenapa kau bengong?”
tegur Yesung oppa. Tentu saja ia akan mengekor, ia tak akan pernah membiarkan
ku pergi sendiri. Ia membawakan gula-gula kapas untukku. Ia paling tau
seleraku.
“Ani,, mana sekyoong? Apa kau
meninggalkannya di cafĂ©?” tanyaku yang tak melihat sekyoong sedari tadi.
Ia hanya mengangguk.
“Ya,, michieseo? Ga, temani
dia. aku ingin sendiri disini.” Suruh ku, sekyoong memang merengek padaku
sedari tadi agar diajak. J
“lalu kau bagaimana? Tsk,,”
“Nan gwaenchanayo. Ga,, jika
kau terus disini, bagaimana aku bisa mendapat seorang pacar.” Omelku. Ini
hanyalah alasanku agar oppa pergi.
“Bailah, hubungi aku jika
terjadi sesuatu. Ingat itu. Hubungi aku.” Jawab Yesung oppa lalu pergi, namun
masih saja berteriak sampai suaranya tak terdengar lagi.
“Aush,,, sangat murahan.”
Umpatku dan tersenyum. “Andai Lee Ki ada disini. Lee Ki. Bogoshida.”
“Jinjja?”
Kutoleh si pemilik suara yang
barusan berbisik di sampingku. Apa aku salah lihat? Spertinya otakku mulai
kacau, hingga suara dan wajahnya ada di hadapanku sekarang. “Daebak,,, imajjinasiku
menjadi nyata.” Kuamati wajah itu. Ya, imajinasiku sepertinya jadi nyata,
seperti 3D.
“Ini aku, Lee Ki. Dan ini
bukan imajinasi.” Katanya lagi.
Kukerjabkan mataku.
Benar-benar. Ini Lee Ki. Geundae wae? Bukankah dia sedang merayakan ultah bersama
gadis tadi siang.
“Neo? Ya, Lee Ki. Bagaimana
bisa kau ada disini? Kau bilang kau akan merayakan ultahnya? Lalu kenapa bisa
disini? Apa pesta ultahnya disini? Dan..”
“Stop. Can you ask me one by
one??” Tanya nya memotong kalimatku yang panjang dan memang tak berhenti jika
tak dihentikannya.
Aku hanya meringis padanya.
“Akan ku jawab satu-satu. Ini
aku, Lee Ki.”
“Wait? Apa tadi aku
menanyakan kau Lee Ki atau bukan?”
“Aigoo,,,” ia menyentil
jidatku.
“Appo..”
Ia menarik bibirnya
kebelakang. Lagi-lagi aku terpesona dengan senyumnya.
“Aku datang karena kau bilang
kau hanya bisa hari ini. Akumemang tadi pergi kesana, tapi hanya sebentar.
Kenapa akudisini, jawabannya seperti no. 1. Dan pesta ultahnya bukan disini.”
Jawabnya dengan sabar.
Aku hanya menyunggingkan
senyumku. Tak tahu harus mengatkan apa. Aku terlalu terpesona olehnya.
“Hello…” ia menggerakkan
tangannya di depan wajahku.
Kami pun melanjutkannya
dengan jalan-jalan disekitar taman hiburan. Aku tak ingin menaiki wahana
apapun.
“Lee Ki…”
“Hmn…” ia terus berjalan
santai. Aku berhenti sebentar dan melihat punggungnya. “ya, kenapa kau
berhenti?” Lee Ki pun kembali untuk berjalan sejajar denganku. “Apa langkahku
terlalu lebar untukmu?”
Aku hanya mengangguk.
Berjalan sambil menatapnya. Entah kenapa mataku sepertinya panas. Lee Ki, Lee
Ki, Lee Ki. Berapa kali pun aku memanggil nama itu, kau tak pernah melihatku
atau menoleh padaku.
“Lee Ki…” Panggilku pelan dan
melepas tangannya yang tadi menggenggam tanganku. Kutatap wajahnya. Ekspresinya
menunjukkan kebingungan. Aku tahu itu. “Lee Ki aku menyukaimu.”
Ia menatapku dengan tatapan
tak percaya.
“Lee Ki, mian. Aku
menyukaimu, bahkan sangat menyayangimu.”
“Suka? Sayang? Mwoya?”
suaranya terdengar dingin. Kutatap wajahnya yang mulai mengeras. Aku tak
mengenal wajah ini. Wajah yang selalu kurindukan setiap detiknya, kini berubah
menjadi sosok yang berbeda.
“Lee Ki,,,”
“That is bullshit. Sarang,
joha. Nan shireo. Geurigu neo,..” ia memberi jarak untu melanjutkan kalimatnya.
“Kau menambah daftar kebencianku. You make me disappointed.”
Ia benar-benar kecewa padaku.
Aku tak sanggup melihat wajahnya yang mengeras karena marah.
“Don’t say it again. Sekali
lagi kau mengatakannya, I swear.. I won’t see you again forever.” Kalimat itu
bagai pukulan yang keras. Rasanya langit runtuh saat ini juga. Ia pun pergi.
Anio, aku hanya tak ingin
menyesal. Aku tak menyesal mengatakannya.
“Lee Ki,,,” panggilku dengan
suara serak, karena memang air mata yang kutahan sejak tadi membuat suaraku
hilang. Aku mengejarnya hingga ke jalan raya.
“Mwoya.. jangan katakana
apapun, kecuali kau ingin menarik kata-katamu lagi.” Suaranya yang terdengar
dalam, menahan amarah. Matanya memerah. aku melihat sisinya yang lain. Aku
bahagia.
“Anio, aku tak menyesal. For
the last I wanna..”
“Geuman,, geuman,, geumanhaerago…”
ia membentak bahkan mengguncangkan tubuhku dengan tangannya yang kekar. Aku
juga melihat matanya kini berkaca-kaca.
“Mian,, mianhae, Lee Ki. Nan
jeongmal neo joha.” Meski dengan menangis, ku beranikan menatapnya dan
mengatakannya dengan tidak ada penyesalan sedikitpun. Karena ini adalah
kesempatanku yang terakhir.
“Neo jeongmal… “ ia tak
melanjutkan kalimatnya. Ia pun pergi dengan kemarahan yang begitu tak terlihat,
aku tak ingin mengikutinya lagi tapi…
“Lee Ki,,, “ seruku dan
berlari kearahnya… asalkan kau baik-baik saja, aku tak apa. Aku bahagia. Meski
mengenalmu dengan singkat. Tapi itu lebih dari cukup. Mian..
Writer’s side
Haejoo berseru dan berlari
menuju Lee Ki. Lee Ki hilang kendali. Dan…
Lee Ki tergeletak di pinggir
jalan. Ia terlihat bingung dengan keadaan yang baru saja terjadi. Kesadarannya
belum pulih, bahkan saat orang-orang mulai berkumpul dan melihat seseorang yang
terheletak tak jauh darinya. Ia bahkan tak mempercayai apa yang baru saja
terjadi.
Air mulai berjatuhan dari
langit malam, dan bau darah mulai tercium di udara. Darah dari seorang gadis
yang telah menyelamatkannya. Haejoo. Seo Haejoo.
Lee Ki mulai menghampiri
tubuh gadis itu dengan gontai. Ia ingin memastikan apa kah itu benar-benar
terjadi pada Haejoo.
“Hae… Hae… Haejoo-ya.
Haejoo-ya. Ireona, jangan bercanda padaku. Ireona, ppaliwa..” Suarangnya
tercekat dan air matanya bersatu dengan air hujan yang mulai membasahi bumi
ini. Ia pun merengkuh tubuh Haejoo yang bersimbah darah dimana-mana.
“To..tolong.. tolong.. tolong,, panggil ambulance. Panggilkan ambulance.” Pinta
Lee Ki dengan lemah, ia memeluk tubuh Haejoo.
Sebelum Lee Ki meminta tolong
pun mereka telah memanggilkan ambulance untuk menolong Haejoo. Lee Ki memegangi
tangan Haejoo dalam perjalanan ke RS. Ia terus menangis dan juga berdoa, agar
tak terjadi apapun Haejoo, gadis yang selama ini juga telah menemaninya.
Haejoo, ppali ireona. Aku
akan menjagamu.
Tes… air mata itu jatuh ke
tangan Haejoo.
Apa Haejoo akan bangun? Tentu
tidak, ini bukan lah dongeng yang sering kita dengar dari ibu menjelang tidur.
Akhirnya, haejoo memang harus
terbangun. Bukan bangun dalam artian ia sehat kembali. Ia bangun dari raganya
yang memang tak sanggup lagi untuk bertahan.
Ia melihat keluarganya yang
memangis diluar ruangan saat operasi sedang berjalan. Ia melihat eommanya yang
ada dipelukan appa karena tak sanggup menopang tubuhnya lagi. Ia melihat
oppanya yang kini menangis dalam diam sambil menunduk. Dan ada sekyoong yang
terus berada disisi oppanya untuk memberinya sedikit kekuatan. Juga ada dia.
namja yang sering membuatnya melayang karena bahagia. Haejoo melihat Lee Ki
yang kini juga menangis dengan tenang, ia juga masih shock dengan kejadian
barusan. Bahkan ia juga tak sadar jika lengannya berdarah.
Dokter keluar dengan wajah
lelah. Semua menanti hasil dari operasi yang sedang berjalan.
“Mianhamnida.” Ucap dokter
itu dan membungkuk 90 derajat sebagai tanda menyesalnya tak bisa menyelamatkan
pasien juga turut berdika cita.
“Andwae,,, dokter kau tak
bisa mengatakannya.” Seru eomma dan kini mencengkram baju sang dokter.
“Yeoboo…” ayah haejoo
mencegahnya dan menenangkan istrinya. “Bukan hanya kau yang merasa kehilangan.
Kami juga merasa kehilangan. Dan bukan hanya kau yang menyayangi Haejoo.. kami
semua juga menyayangi Haejoo.” Ucap ayah Haejoo yang mencoba untuk bersabar dan
merelakan putri tercintanya untuk pergi selamanya. “Jadi, biarkan Haejoo pergi
dengan tenang dan bahagia..” tambah lelaki paruh baya itu dengan tangis yang
juga turun secara perlahan.
Yesung lah yang pertama kali
langsung berlari menuju kamar operasi untuk melihat adiknya. Ia takpercaya
dengan kata-kata dokter itu barusan.
“Maaf, tuan. Anda tidak
diperboleh kan ada disini.” Ucap suster mencegah Yesung masuk. “Kami sedang
menjahit bekas lukanya.” Tambahnya masih dengan menghalangi Yesung untuk
menghampiri adiknya.
“Ya,, dia adikku. Aku harus
melihatnya. Dia sedang bercanda denganku. Ia hanya sedang tertidur.” Seru
Yesung yang masih tak menerima keadaan sambil menangis.
Oppa… mianhae. Uljima.
Jaebal, uljima, oppa. Na.. haenboeghae. Uljima, oppa. Jiwa Haejoo juga menangis
melihat oppanya yang seperti itu. Ia juga tak tega. Ia ingin memeluk oppanya,
namun ia juga tak dapat memeluknya, jangankan untuk memeluk… menyentuh pun
sekarang sudah tak bisa.
Hari pemakaman…
Pemakaman Haejoo banyak
dihadiri oleh teman-teman sekelas Haejoo. Mereka semua juga bersedih, karena
Haejoo juga termasuk anak yang aktif di sekolah dan pandai bergaul dengan yang
lain. Seakan mereka tak percaya, karena baru kemarin mereka ngobrol setelah
Haejoo masuk sekolah.
Bahkan bumi juga menangisi
kepergian Haejoo. Hujan jugalah yang turut mengantar kepergian Haejoo.
Selamat jalan, Haejoo-ya.
Tunggu kami, tak lama lagi kita akan berkumpul lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar