Sabtu, 22 Februari 2014

I Can't Breath

Lelaki itu. Aku melihatnya lagi. Ditempat yang selalu berbeda dan kegiatannya yang dilakukannya pun berbeda. Di ruang music, ia memainkan piano itu dengan begitu apik. Di ruang kesenian, ia tengah melukis rumah dengan isinya. Di lapangan ia bermain bola dengan semangat, bahkan mencetak gol beberapa kali.
Dan di kelas, aku melihatnya tengah.. belajar? Anio, ia tengah tertidur dengan santainya. Namja yang kupikir adalah namja sempurna, ternyata juga memiliki sisi yang lain. Aku tersenyum melihatnya.


Jika soal belajar, ternyata kami sama. Aku tidak pandai belajar. Karena aku tak pernah memiliki waktu untuk belajar. Kenapa? Karena aku harus keluar masuk RS. Ok, stop. No comment.
“Lee Kikwang…” Miss Kim memanggilnya dengan kesal – namanya Lee Kikwang – karena ia tak pernah focus saat mata pelajarannya.
“Ne, seongsamnim?” bahkan saat menjawab pun ia terlihat keren dimataku. Ia hanya mengerjab dan menatap Miss Kim dengan santai.
“Can you say it again? We aren’t use Korean here, but English.” Ucap Miss Kim dengan kesal.
“Yes, teacher. I’m ready to answer your question.” Kali ini ia berdiri. Aku bahkan bisa melihat tubuhnya yang lumayan tinggi dan sedikit kurus. Aku hanya tersenyum melihatnya.
“Ok, can you open you book? Start from page 77, number 8.”
“You are my blablabla, only you in my heart until the end.” Lee Kikwang membaca soalnya. “The word to complete sentence is C. Inspiration.” Jawab Lee Ki dan kemudian duduk.
“Why? Why not A, B, or D?”
“Emn, because A for past tense, B for present continues, and D for Past  continues. So, I think the word’s true is B. inspiration.” Jelas Lee Ki.
“Ok, we’ll end for today. Enjoy your next class.” Ucap Miss Kim tersenyum mengakhiri kelas kami, danmelangkah pergi dengan senyum yang masih mengembang.
“Wow,, daebak. Ya Lee Ki. Apa kau iokut les?” Tanya teman-temannya  yang langsung menghampirinya.
“Geojo. Leave me alone.” Jawab Lee Ki dan meletakkan kembali kepalanya ke atas meja.
Mereka pun meninggalkan Lee Ki. Mereka tak ingin membangunkan singa tidur tentunya.
0000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000
Aku kembali melihatnya yang sedang bermain piano di ruang music. Music yang indah. Mungkin ia tak akan pernah menyadari ada aku yang selalu berdiri di dekatnya dan memperhatikannya. Tapi aku cukup puas dengan apa yang kulakukan, aku tak bisa berharap lebih, itu serakah namanya kata eomma.
“Nugu?” Tanya nya tiba-tiba dan menoleh.
Untungnya aku telah menghindar terlebih dahulu, sehingga ia tak akan tahu. J mianhae Lee Ki –nama panggilanku untuknya–.
0000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000
Di lain hari, aku memperhatikannya yang tengah meyelesaikan lukisannya. Aku semngikuti pembuatan lukisan itu. Ia selalu berfikir keras saat membuatnya. Entah coretan apa yng akan ia gunakan. Padahal hanya membuat sebuah rumah beserta anggota keluarga yang ada di rumahnya.
Ku lihat Lee Ki menoleh ke arahku dengan tiba-tiba.
Aku menahan nafasku karena sempat bertemu mata dengannya. Buru-buru aku menghindar dan berlindung di balik pintu. Kurasa sudah aman, aku pun ingin melihatnya lagi sebelum aku pulang. Tapi… ia tak ada. Kemana dia? Apa ia bisa pergi secepat itu?
Aku pun membalikkan tubuhku.
“Ai, gamchagya.” Aku terkejut melihat sosoknya yang telah ada dihadapanku, dan tanpa sengaja tubuhku tak seimbang.
Namun tangan kokoh itu menyangga tubuhku yang kurus ini. Ia begitu kuat, karena mampu menyanggaku dengan satu tangan.
Bertatapan beberapa detik dengannya bagaikan bertahun-tahun.
“Nuguyeo?” suaranya yang berat sedikit menyadarkanku akan keadaan yang sebenarnya.
“Ye??” aku bingung. Aahh, benar, akubelum memperkenalkan diriku sendiri. Aku sampai lupa.
“Neo  ireum mwoya (Siapa namamu)?” Tanya nya lagi dengan tegas dan menyandarkan tubuhku pada tembok. Ia seperti mengunciku agar tak lari -mungkin- padahal aku tak akan rela lari darinya. Yoohoo..
“Aahh,, haejoo-eyo. Seo haejeo.” Aku tak berani menatap matanya yang melihatku dengan begitu lekat. “Mian, Lee Ki.. nan geunyang…”
“Lee Ki??” Tanya nya dan membulatkan matanya. Oohh, nomu gyeopda. Seperti anak anjing. Anio, ia lebih lucu.
Aish, menyebalkan. Mengapa mulutku tak bisa mengerem? Lee Ki adalah panggilanku untuknya. Harusnya aku tak mengucapkannya, meski namanya Lee Kikwang.
“Shireo (Kau tak suka)? Aku tak akan memanggilmu dengan sebutan itu.”
Aku pikir ia berhak marah Karen aku memotong namanya dengan seenaknya saja. Tapi ini sungguh diluar dugaanku. Ia tersenyum. Benarkah? Waahh,, ini sebuah keajaiban. Lee Ki tersenyum padaku.
“Joha.” Senyumnya sangat lembut dan sederhana. Memeperlihatkan deretan giginya yang begitu apik, dengan kombinasi bibir atas tipis dan bibir bawah sedikit tebal. Aahh, kupikir mati sekarang aku akan rela setelah melihatnya. Tapi tidak, aku ingin lebih lama melihatnya. Aku ingin hidup lebih lama. J
Lee Ki’s side.
Lee Ki? Kupikir itu nama yang unik. Lebih singkat, dan renyah untuk didengar. Atau hanya suaranya yang memang renyah didengar. Mwola, mwola, mwola. Aku hanya menyukai nama yang ia sebutkan. Lee Ki. Geurae, mulai sekarang aku Lee Ki. Aku pun tersenyum padanya. Lebih tepatnya hanya sekedar menarik garis bibirku ke belakang. Tapi kenapa ia terlihat begitu? Apa ia terlalu bahagia?
“Ya,,ya,, yaa..” aku mengguncangnya beberapa kali untuk menyadarkannya.
“Eo,, ne? wae Lee Ki?” Tanya nya dengan malu-malu. Bahkan pipinya kini bersemu merah jambu. Atau ini hanya lah pemerah pipi? Yang sering dipakai noona.
Aku pun sedikit menjauhkan tubuhku darinya dan tak menguncinya lagi. “Apa kau yang sering melihatku?”
“Eo,, ne..” jawabnya dengan pasrah, mungkin karena sudah terlanjut ketahuan olehku. Melihat tingkahnya yang langsung menunduk ke bawah, aku hanya tersenyum.
“Kau bisa masuk jika ingin melihat-lihat kedalam.” Tawarku. Mwoya igeu chigeum? Sejak kapan aku menjadi baik pada seseorang. It’s ok, just once.
Lee Ki’s side end.
Writer’s side.
Bermula dari satu kali, kemudian berubah menjadi 2x, 3x, dan seterusnya hingga menjadi sebuah kebiasaan. Benar.
Sekali, dua kali, Haejoo masuk ke ruangan dimana ada Lee Ki. Hingga itu menjadi sebuah kebiasaan. Dan mereka menjadi teman akrab. Benarkah hanya menjadi teman akrab. Seorang lelaki dan wanita tak kan pernah bisa menjadi sahabat, karena pasti aka nada cinta diantara mereka.
“Haejoo-ya. Come here, aku ingin menunjukkanmu sesuatu.” Ucap Lee Ki dengan semangat dan senyum yang mengembang. Yang semakin lama seperti angin segar bagi Haejoo.
“Mwoga?” Tanya Haejoo yang selalu mengiyakan semua kata Lee Ki. Bahkan selalu bersemangat jika ia disuruh melakukan sesuatu.
“Aku memiliki sesuatu untuk kutunjukkan padamu.”
“Jinjja…?”
Haejoo’s side.
“Aku memiliki sesuatu untuk kutunjukkan padamu.” Ucap Lee Ki dengan senyumnya yang selalu menghiasi suasana.
“Jinjja?” Aku sangat senang, sungguh. Ini pertama kalinya untukku. Melihatny ayang begitu bersemangat, membuatku bernafas dengan lega. Seperti tak ada kesesakan yang kerap kali kurasakan.
“Eo,, tada…” ia membuka pembungkus lukisan disampingnya.
Aku melihatnya dengan haru. Aku menutup mulutku karena begitu terkejut. Bahkan mataku mulai berkaca-kaca. Sejak kapan ia mulai membuatnya. Setahuku ia selalu memperhatikan yang lain.
“Lee Ki,, itu… “ aku tak sanggup melanjutkan kalimatku. Dan menatap Lee Ki yang tersenyum bahagia, namun rautnya langsung berubah.
“Wae? Shireo?” Tanya nya ragu, mungkin Karena melihat mata ku yang mulai basah.
“Anio, joha. Nomu joha.” Jawabku dan menghapus air mata bahagia ini.
“lalu, kenapa kau menangis?” Tanya nya bingung.
“Aku terharu, juga terlalu bahagia melihatnya.” Bagaimana tidak, ia menggambarku yang tengah tersenyum, seakan melihatnya. Sejak kapan ia tahu aku sering melihatnya dengan diam-diam? Apa mungkin ia juga tahu perasaanku padanya. Haruskah kukatakan?
“Daengida. Kupikir kau tak akan suka.” Ucap dan mengacak rambutku pelan, seperti anak kucing. Aku suka diperlakukan olehnya seperti itu. Menurutku itu ada sebah perhatiannya yang tersembunyi. “Aigoo, naedongsaeng nomu gyeopda (Ya ampun, adikku sangat menggemaskan).” Tambah nya sambil mencubit kedua pipiku.
Mwo? Dongsaeng? Apa dia baru saja menyebutku dongsaengnya?
“Wae? Shireo? Kau tak ingin menjadi dongsaengku?” Tanya Lee Ki yang jelas tahu akan perubahan wajahku saat ini.
“Anio,, aku senang.” Jawabku singkat. Paling tidak aku memiliki status, meski dianggap seperti adiknya. Kupikir ini lebih dari cukup. Bisa dekat dengannya, dan Lee Ki menganggapku sebagai adiknya. Tentu aku harus menyusukurinya bukan? Aku tak boleh tamak. Benar..
Tapi kenapa hatiku tak dapat menerimanya? Rasanya ada sesuatu yang mengganjal disini. Di hatiku. Terasa hatiku yang tiba-tiba sakit, dan tubuhku juga lemas.
 “Baguslah, mulai sekarang panggil aku oppa. O,,pa,,” ucap Lee Ki dan menyuruh ku memanggilnya oppa.
“Shireo… kita hanya terpaut beberapa minggu saja, kenapa harus memanggilmu oppa.” Aku menolaknya dan mempoutkan bibirku. Tentu aku tak benar-benar menolaknya, karena ingin menggodanya saja. Bahkan dengan senang hati aku akan memanggilnya oppa. Sarang haneun uri oppa, oppa,,oppa,,oppa. Jjang.
Cup…
Mwoya?? Aku merasakanada sesuatu yang aneh. Sesuatu yang tiba-tiba menjalar sampai ke perutku. Sepertinya banyak kupu-kupu yang sedang beterbangan di dalam sana. Aku membelalakkan mataku lebar-lebar. Benarkah ini? Dia, Lee Ki, kini menciumku? Anio, bukan aku tak suka, maksudku aku hanya sedang bingung. Eottogaji? Apa yang harus kulakukan? Sejujurnya aku sangat minim pengalaman ini. Ini adalah ciuman pertamaku. My first kiss.
Apa yang harus kulakukan? Apa aku harus menutup mataku, atau,,
Aku mendorongnya untuk menjauhiku. Bukan, bukan karena aku tak suka. Tapi perasaan aneh ini membuatku, sedikit gugup. Dan aku tak dapat bernafas. Aku bingung. Lee Ki juga tampaknya terkejut. Apa dia akan marah padaku. Mungkin ia marah. Lebih baik aku pergi, sebelum aku melihatnya marah atau malu padaku.
Aku pun berlari keluar dari ruangan itu. Aku menuju kelas, mengambil tasku. Aku ingin pulang. Aku malu padanya, aku juga bingung. Apa yang harus kulakukan padanya nanti.
“HAejoo-ya. Eodiga? Miss Kim akan masuk sebentar lagi.” Seru Sekyoong, teman sebangkuku.
Tapi aku tak menghiraukannya. Bahkan Lee Ki. Aku juga tak menghiraukannya, yang memanggilku dan mengikutiku sampai lobi depan sekolah.
Aku pun langsung naik mobil yang biasa menungguku pulang dari sekolah.
“apa anda sakit, Agassi?” Tanya song ahjussi, supir keluarga kami. Supir yang khusus mengantar ku kemana.
“Anio, ahjussi. Mungkin aku sedikit gugup.” Jawabku, namun aku juga merasakan badanku yang juga lemas dan keringat dingin yang mulai keluar.
Ahjussi menggendong ku untuk masuk kerumah, karena aku tak sanggup lagi untuk berjalan.
“Aigoo,, ada apa ini supir song?” Tanya eomma yang sangat khawatir. Aku masih bisa mendengar suara eomma yang begitu panic melihatku digendong oleh song ahjussi.
Sayup-sayup kudengar suara eomma yang memanggil-manggil namaku. Dan lama kelamaan suara itu menghilang. Aku takut. Eomma, aku sangat takut. Lee Ki oppa, aku sangat takut.
000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000
Entah sejak kapan aku ada disini. Di ruangan yang begitu membuka mata, aku akan sangat mengenalinya. Bahkan sebelum aku membuka mata, aku tahu ini dimana. Right, RS –yang sangat kubenci- yang pengap ini. Kulihat sekitarku.
Eomma, sosok yang harus kulihat untuk pertama kalinya. Setidaknya aku masih bisa melihatnya. Melihat wajahnya yang begitu lelah. Mungkin ia terlalu banyak menangis belakangan ini. Aku tahu itu, hal ini tentu sangat sulit baginya. Melihat anak perempuan bungsunya yang selalu membuatnya khawatir setiap saat. Bahkan harus mempersiakan mentalnya setiap saat.
“Eomma…” aku mencoba mengeluarkan suaranku, namun yang keluar hanya lah seperti erangan di telinga mereka semua.
“Haejoo-ya.. oohh, uri ttal. Gwaenchana. Semua akan baik-baik saja.” Kata eomma sangat khawatir. Ia selalu membesarkan hatiku, padahal hantinya lah yang paling sakit saat melihatku lemah dan drop seperti ini.
“Haejoo-ya. Gwaenchana?” Tanya appa dan mendekatiku. ia selalu tampak tegar dihadapan kami semua. Tapi aku tahu ia juga menderita dengan keadaanku.
Aku hanya mampu mengangguk dan tersenyum. Paling tidak itu bisa mengurangi rasa khawatir mereka semua.
“Ya,, Our princess. Akhirnya kau bangun setelah beberapa hari.” Ucap seorang lelaki yang sangat ku kenal suaranya.
Akuingin melihatnya. Melihat namja yang lama tak kulihat. Oppa. Uri oppa. Aku tersenyum lemah padanya, sebenarnya aku ingin menunjukkan senyum bahagiaku, tapi tak tahu malah air mata yang keluar. Mungkin karena aku terlalu bahagia melihatnya.
“Oppa…” panggilku lemah.
“Ya,, wae? Bogoshipo?” ucapnya yang selalu penuh percaya diri.
“Anbogosipo, oppa.” Jawabku lemah.
Hatiku mencelos seketika saat melihat air matanya keluar. Bahkan oppa yang selalu penuh percaya diri, bahagia, iap un bisa mengeluarkan air mata. Aku hanya mampu menyunggingkan senyumku padanya.
“Oppaneun dongsaengiereul nomu bogosipo.” Ucapnya dan membelai rambutku. Ia tampak sangat sedih.
Ada apa ini? Kenapa semuanya tampak sangat bersedih. Bahkan mereka semua menangis. Gwaenchana haejoo-ya. Aku memiliki firasat buruk. Apa yang akan terjadi padaku? Berapa lama lagi.
“Oppa,, wae? Aku baik-baik saja. Aku akan sehat kembali, oppa. Uljima..” ucapku menahan tangis. Paling tidak aku bisa berpurapura baik-baik saja dihadapan mereka. Dihadapan orang-orang yang kukasihi.
“Eo,,, kau akan sehat kembali, kita akan bermain seperti dulu lagi. Gichi..” jawab oppa menahan tangisnya, kemudian ia pun berbalik. Mungkin ia menghapus air matanya.
“Eomma,,, nan gwaencahan. Aku tak merasakan sakit apapun. Gwaenchana.. gwaenchana eomma.” Ucapku pada eomma, yang seketika langsung memelukku.
“Kau akan segera sehat, nak. Kau adalah kebanggaan eomma, appa, dan oppa.” Ucap eomma namun masih tetap menangis.
“Uljima.” Ucap appa tegas dan berusaha menahan air matanya. Aku tahu itu. Aku sangat mengenalnya. Saat ia meninggikan suaranya, ia sedang menahan tangisnya. Dan suaranya bergetar.
“Appa, kita akan bisa pergi piknik lagi, kan. Memancing bersama, eomma memasak, narang opparang akan bermain sepeda. Gichii… kita harus melakukannya setelah aku keluar dari RS ini.” Ucap ku pada mereka semua dengan sesenggukan. Aku juga tak ingin pergi. Aku ingin selamanya bersama mereka, tak terpisah.
“Benar, Yesung-ah… bersiap untuk kalah dari adikmu saat kalian balap sepeda. Appa akan menangkap banyak ikan kita makan.” Jawab Appa yang kini benar-benar telah mengeluarkan airmatanya.
“Aku tak akan kalah.” Jawab Oppa sesenggukan juga.
“Eomma akan memasak yang paling enak seperti biasa.” Timpal eomma.
Aku menganggukkan kepala.
Suster memanggil eomma dan appa. Mungkin ini ada hubungannya denganku, atau hanya membicarakan tentang kepulanganku nantinya.
“Oppa, kapan oppa kembali dari inggris? Bukankah kau sedang mengambil ujian untuk gelar profesormu. Memang bisa bolos seenaknya?” tanyaku padanya.
“Ya,, aku sangat merindukan adikku. Arra.”
“Nado,,, nomu bogoshipda. Secepatnya oppa harus kembali. Aku baik-baik saja, geokjeongma (Jangan Khawatir).”
Writer’s side
Diluar ruangan,,, ibu haejoo tampak sangat terpukul dengan perkataan dokter barusan. Bahkan suaminya sampai harus menopangnya agar tak jatuh. Mereka berdua sama-sama terguncang.
“Kami benar-benar tak dapat melakukan apapun.” Ucap dokter itu. Ia adalah dokter yang menangani haejoo selama beberapa tahun ini. “Sejujurnya sangat susah untuk mengangkat kankernya, karena jika kami angkat, maka haejoo malah tak bisa bertahan walau hanya sehari.” Tambahnya lagi. Meski ia juga tak tega, tapi ia juga harus jujur terhadap keluarga pasien mengenai keadaan yang sebenarnya.
Ibu haejoo tak mampu berkata apapun. Ia hanya menangis sambil dipegangi oleh suaminya.
“Dokter, apa taka da cara lain?” Tanya Ayah haejoo, berusaha untuk optimis walau hanya sedikit. Ia juga sangat terpukul sebenarnya, tapi salah satu dari mereka harus berusaha tegar agar ada yang menguatkan yang lainnya.
“Mianhamnida. Tapi tak ada cara. Sekarang ini, kita hanya bisa melakukan apa yang ingin dilakukan Haejoo, setidaknya ini dapat membahagiakan hidupnya di akhir. Saya juga menyarankan agar ia taklagi di RS, karena hanya akan membuatnya semakin drop. Buatlah kenangan-kenangan indah bersamanya, agar taka da penyesalan nantinya.” Jelas dokter itu. Sebenarnya ia tak tega harus mengatakannya.
“Yeobo, kita bawa dia amerika. Atau jerman, ku dengar pengobatan disana lebih bagus yeobo. Kita tak seharusnya menyerah terhadap Haejoo. Gaja, kita bawa saja.”
“Yeoboo,,,” Ayah Haejoo berusaha menenangkan istrinya.
“Kami juga telah berdiskusi dengan para ahli di amerika dan jerman. Dan jawaban mereka juga sama.” Timpal sang dokter.
Mendengar itu membuat tangis ibu haejoo makin keras.
000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000
Haejoo’s side.
Senang rasanya aku bisa langsung pulang. Inilah yang kuinginkan. Setidaknya aku tak akan menyesal.
Writer’s side
“Chukahamnida…” seru yesung (oppa kandung haejoo) saat pintu terbuka dan memberikan bunga kesukaan Haejoo, daisy,.
“Gomawo, oppa.” Haejoo menerimanya dengan sangat senang, dan langsung mencium bunga itu.
“Haejoo-ya…” panggil sekyoong. Bahkan ia juga turut memeriahkan pesta penyambutan untuk haejoo. Ia langsung memeluk sahabatnya itu. “Chukae, mian aku tidak tahu kau sedang dirawat di RS.” Tambahnya menyesal.
“Gwaenchana.” Jawab Haejoo dan tersenyum lebar.
“Agassi,, chukae.” Ucap song ahjumma. Song ahjussi juga tersenyum haru, bahkan mereka berdua juga menangis.
“Gomawo, ahjumma. Maaf sudah membuat kalian semua khawatir.” Ucap haejoo dan membungkuk dalam-dalam.
“Ayo kita makan..” usul yesung sebelum semuanya terlarut dalam emosi kesedihan.
“Benar, aku juga lapparr,,,,” sambung sekyuoong yang memang suka makan.
“Eo,,, appa lupa bilang.” Ayah Haejoo menepuk jidatnya.
“Ada apa, appa? Apa ada rapat?” Tanya Haejoo yang juga terkejut.
“Appa cuti selama sebulan.” Jawab ayahnya dengan santai, dan itu mampu mencairkan suasana. Mereka semua pun tertawa.
00000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000
Haejoo’s side.
Aku duduk di ayunan di taman rumah. Udara malam ini sangat dingin. Aku hanya menghela nafas dan memandang langit malam. Meski gelap, namun banyak bintang terang yang emnghiasinya mala mini.
Lee Ki,,, bogoshipo. Apa kabarmu? Apa kau sehat? Apa kau makan dengan baik? Apa kau juga tidur dengan nyenyak? Dan apakah kau merindukanku.
Grep.
Selimut? Kulihat orang yang memberikanku selimut ini, dan aku tersenyum.
“Udara sangat dingin mala mini. Apa kau tak kedinginan?” Tanya oppa sambil menggosok-gosokkan tangannya dan menempelkannya pada pipiku untuk menyalurkan rasa hangat.
Aku tersenyum melihat sosok Yesung oppa. Ia cuek, namun ia sangat peduli padaku melalui tindakannya. Ia jarang mengatkan saying padaku, tapi ia selalu menunjukkan kalau ia sangat menyayangiku.
“Gomawo, oppa.” Ucapku dan menyandarkan kepalaku pada bahunya yang lebar. Dan oppa pun merangkulku dengan saying. Lama tak kurasakan rangkulan oppa.
“Cheonma. Aku akan lakukan apapun untuk nae dongsaeng.” Jawabnya dengan suara parau. Bisa ku tebak kalau saat ini pasti matanya berkaca-kaca. Akku tak berani melihatnya.
“Oppa,,, aku bahagia menjadi adikmu.” Ucapku penuh rasa syukur. Rasanya sudah sangat lama sejak terakhir kali kami mengobrol bersama.
“Aku juga senang menjadi oppamu,,, aku akan menjagamu. Selamanya.” Jawabnya, dan kurasakan ia mengecup puncak kepalaku. Satu hal yang sangat jarang ia lakukan.
“Oppa,,, bisakah kita menjadi oppa-dongsaeng di kehidupan selanjutnya?” tanyaku, dan kini air mataku mulai keluar. Aku ingin menahannya, tapi sangat sakit bukan saat kau menahan tangis.
“Geureomyeon. Kita akan tetap menjadi dongsaeng-oppa dikehidupan selanjutnya, dikehidupan selanjutnya lagi, dikehidupan selanjutnya lagi, dikehi..”
“Geumanhae…” potongku dan tersenyum simpul. “Oppa,,, kau tahu bukan kalau aku menyayangimu, oppa.”
“Emn,,,” oppa mengangguk, dan air matanya jatuh di tanganku.
“Nomu, nomu, nomu saranghae. Kau juga sangat menyayangiku, kan?”
“Emn..” kembali ia hanya mengangguk.
“Jika aku pergi nanti, uljima. Biarkan aku pergi dengan bahagia.” Ucap ku dengan berani.
“Ya,,,” oppa langsung membantakku tak suka dan kini ia melihat wajahku yang telah basah air mata. “Mwoseunsoriya? Uljima, kau akan sehat kembali. Aku jamin itu.” Ia pun memelukku.
Jika aku akan sehat kembali, kenapa ia malah menangis? “Jika, oppa. Bukankah kubilang jika. Aku ingin kau tersenyum. Arra. Bisakah kau melakukannya untukku, oppa?”
“Oppa,,, aku lelah. Aku juga tak ingin membuat kalian khawatir. Tapi aku tak dapa t berbuat apapun.”
“Mianhae, Haejoo-ya. Mianhae..” kini oppa malah makin menangis. Baru kali ini kulihat Yesung oppa yang biasanya tegar, cuek, dan asal-asalan, menangis sejadinya.
“Oppa,,, oppa,, uljima. Uljima oppa. Aku takut oppa… sangat takut.” Ucapku yang akhirnya menumpahkan semuanya. “Aku tak ingin mati oppa. Aku ingin bersama kalian.” Tangisku kini benar-benar pecah.
Dan oppa, ia juga menangis bersama ku. Ia memelukku, mengelus punggungku agar aku tenang. Tapi bagaimana aku bisa berhenti menangis, sementara ia juga menangis.
“Aku ingin bersama kalian oppa. Aku tak ingin pergi kemana pun, oppa. Aku takut, oppa. Kenapa harus aku oppa? Apa aku adlah seorang penghianat Negara sebelumnya.”
“Ania,, kau adalah putri yang baik hati. Kau adalah yang terbaik dimasa lalu.” Jawab oppa masih memelukku.
“Oppa,, oppa..”
Mungkin aku terlalu tamak. Aku bisa hidup sampai saat ini harusnya bisa bersyukur. Tapi ketamakanku ini semakin bertambah saat aku mulai mengenalnya, Lee Ki.
Aku mulai menjalankan aktivitasku. Dan ini pertama kalinya aku ke sekolah setelah 1 minggu aku tak pergi. Aku masuk ke kelas, dan langsung mendapat sambutan dari teman-teman terdekatku.
Aku terenyum pada mereka dan sedikit mengobrol dengan mereka. Dan kulihat ia yang cuek padaku. Seperti biasa, ia tidur. Dan tak menghiraukan kedatanganku.
Bogoshipo. Ucapku dalam hati sambil memandangnya.
Aku mencarinya,, mencari sosok Lee Ki yang telah lama tak kulihat. Aku sangat merindukannya. Dan kini aku dapat melihatnya. Ia tengah berdiri di dekat lemari yang biasa untuk menyimpan lukisan-lukisannya jika telah selesai.
Aku pun berlari untuk menghampirinya. “Lee Ki…” panggilku,,, namun. Mungkin ini bukan waktu yang tepat. Sepertinya aku merusak sesuatu. Merusak sebuah keadaan yang benar-benar privasi. Ia tengah bersama gadis lain. Dan mereka. BERCIUMAN.
Ada apa ini? Kenapa sangat sakit. Aku pun buru-buru balik badan. Hajima, jangan memanggilku. Kumohon. Biarkan aku pergi tanpa harus mendengar suaramu. Jika tidak aku benar-benar akan menangis saat ini.
“Wae haejoo-ya??”
Kuhapus air mataku, dan berbalik lagi menatapnya. Kusunggingkan senyumku senatural mungkin agar ia tak melihat perubahan pada wajahku tadi.
“Oppa, sepertinya temanmu ingin bicara penting pada mu. Aku akan kembali lagi. Kanda…” ucapnya dengan imut dihadapan Lee Ki. Lee Ki ku. Baiklah, aku tak memiliki hubungan apapun. Sehingga tak bisa disebut sebagai Lee Ki ku.
“Dah, eonni.” Pamitnya padaku. Memangnya aku eonni mu? Sejak kapan? Aku hanya menarik bibirku kebelakang.
“Wae geurae?” Tanya nya. Dingin. Mungkin ia marah karena aku mengganggunya. Nadanya tak sehangat dulu lagi. Kemana pergi Lee Ki yang kukenal.
“Mian, apa kau marah?” Tanya ku takut.
“Hmn..” dan dia hanya ber-hmn.
Aish,Haejoo babo. Tentu saja ia marah, kau sudah mengganggu kesenangannya. “Mianhae. Kalau begitu lebih baik aku pergi.” Ucapku lemah. Sakit rasanya. Ia bersikap dingin dalam tempo satu minggu. Padahal aku sangat merindukannya. Merindukan senyumnya yang sederhana itu. Merindukan suaranya yang hangat jika bicara padaku.
“Bicaralah.” Ucapnya tiba-tiba dan menarik tanganku untuk mencegah ku pergi. Mungkin. “Bukankah kau sudah disini, dank au terlanjur merusak semuanya. Setidaknya buat agar kau tak sia-sia merusaknya.” Kata-katanya masih dingin, namun ada rasa hangat didalamnya.
Mwoya? Bagaimana ini? Apa yang harus kukatakan? Apa harus kukatakan kalau aku merindukannya. Aish, mana boleh begitu.
“Lee Ki. Sebenarnya ada yang ingin kukatakan. Tapi aku lupa.” Jawabku akhirnya dan menunjukkan wajahku yang paling bodoh sambil menggarut kepala belakang ku yang tak gatal.
Ia membulatkan matanya. Ekspresi yang kusuka darinya. Bukan hanya itu. Bahkan semua yang dilakukannya.
“Meoya,,, tsk.” Ia mungkin terlihat kesal. Tapi dapat melihatnya lagi,,, sesuatu hal yang ingin ku syukuri. tanpa kusadari, aku telah memeluknya. Aku terkejut, mungkin ia pun lebih terkejut lagi.
Meski tak mendapat balasan pelukan darinya, gwaenchana. Aku hanya perlu bersyukur. Ku sunggungkan senyumku padanya. “Op..pa..” aku memanggilnya oppa dengan gagu. Sejujurnya aku merinding mendengar mulutku mengatakannya.
Ia hanya menatapku. Mungkin ia masih bingung.
“Aish,,,” Aku memukul lengannya. “Lihat ini,,, aku merinding memanggilmu oppa.” Kutunjukkan tanganku yang memang merinding. Sebenarnya bukan karena memanggil Lee Ki “oppa”. Tapi entah kenapa, ada didekatnya membuatku merinding. J
“Ya,,” Ia pun mulai tersenyum dan mengacak rambutku pelan.
Benar, sentuhan yang sederhana namun sangat kurindukan. “Aahh, madda. Aku ingin mengajakmu bermain, aku ingin sekali ke taman bermain.” Ku amati wajahnya, apakah ada yang berubah. Tapi tak ada perubahan dari raut wajahnya. “Kau mau menemaniku?”
“Eonje???” Tanya nya langsung.
What? Apa aku tak salah dengar, ia langsung menanyakan kapan. Jujur saja, mengajak pergi adalah ide ku yang paling mendadak.
“Emn,,, bagaimana kalau nanti malam?” Tanya ku. “Ada juga yang ingin kuberitahu padamu.”
“Nanti malam? Hmn…” ok, firasatku ia tak akan bisa. “Mianhae, aku sudah terlanjur janji akan datang ke pesta ulan tahun dia malam ini.”
Bingo,,, firasatku tak pernah salah mengenai dia. Hanya kusinggungkan senyumku. Senyum kecewa. Mungkin. But, apapun itu aku telah mencobanya.
“Bagaimana kalau besok?” tawarnya, mungkin ia melihat wajahku yang kecewa.
Aku hanya menggeleng. Aku hanya merasa malam ini lah waktunya. Tapi sudahlah,, “Aku hanya bisa mala mini. Lupakan saja, aku bisa pergi sendiri.” Mungkin terlihat memaksa, tapi aku tak bisa mengubah suasana hatiku tiba-tiba.
“Haejoo-ya…” sekyung memanggilku. “Pangeran kuda putih datang menjemputmu.” Serunya yang begitu exited.
“Nugu??”
“Yesung oppa. Hihii..” setelah mengatakan itu, ia pergi. Mungkin untuk menemui oppa. Ia adalah fans berat Yesung oppa.
“Mwoya,, tumben sekali.” Gumamku dankulihat lagi Lee Ki.
“Kenapa kau tak pergi dengan pangeran kuda putih mu itu?” ucapnya dan membalikkan tubuhnya, membereskan alat-alat lukisnya.
Mwoya? Untuk apa ak pergi dengan oppa ku sendiri. Cih,, “Baiklah,, ganda.” Ucap ku sedikit kesal. Tapi ia tak menoleh untuk  melihat ku pergi..
“Gandaa,,,” Seru ku lagi untuk menarik perhatiannya.
“Sikkeuleoun (Berisik). Pergi lah kalau ingin pergi.” Ucapnya, namun tak sedikitpun melihatku.
“Geurae,, ganda.” Aku pun berlalu dari situ.
00000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000
Malam ini, aku benar-benar datang ke taman hiburan ini. Aku melihat banyak pasangan yang datang kesini. Actuly, aku iri. Sangat. Aku ingin datang dengan Lee Ki. Lee Ki can you saw me? Aku bahkan tak bisa bernafas jika tak melihatmu.
“Ya,, kenapa kau bengong?” tegur Yesung oppa. Tentu saja ia akan mengekor, ia tak akan pernah membiarkan ku pergi sendiri. Ia membawakan gula-gula kapas untukku. Ia paling tau seleraku.
“Ani,, mana sekyoong? Apa kau meninggalkannya di cafĂ©?” tanyaku yang tak melihat sekyoong sedari tadi.
Ia hanya mengangguk.
“Ya,, michieseo? Ga, temani dia. aku ingin sendiri disini.” Suruh ku, sekyoong memang merengek padaku sedari tadi agar diajak. J
“lalu kau bagaimana? Tsk,,”
“Nan gwaenchanayo. Ga,, jika kau terus disini, bagaimana aku bisa mendapat seorang pacar.” Omelku. Ini hanyalah alasanku agar oppa pergi.
“Bailah, hubungi aku jika terjadi sesuatu. Ingat itu. Hubungi aku.” Jawab Yesung oppa lalu pergi, namun masih saja berteriak sampai suaranya tak terdengar lagi.
“Aush,,, sangat murahan.” Umpatku dan tersenyum. “Andai Lee Ki ada disini. Lee Ki. Bogoshida.”
“Jinjja?”
Kutoleh si pemilik suara yang barusan berbisik di sampingku. Apa aku salah lihat? Spertinya otakku mulai kacau, hingga suara dan wajahnya ada di hadapanku sekarang. “Daebak,,, imajjinasiku menjadi nyata.” Kuamati wajah itu. Ya, imajinasiku sepertinya jadi nyata, seperti 3D.
“Ini aku, Lee Ki. Dan ini bukan imajinasi.” Katanya lagi.
Kukerjabkan mataku. Benar-benar. Ini Lee Ki. Geundae wae? Bukankah dia sedang merayakan ultah bersama gadis tadi siang.
“Neo? Ya, Lee Ki. Bagaimana bisa kau ada disini? Kau bilang kau akan merayakan ultahnya? Lalu kenapa bisa disini? Apa pesta ultahnya disini? Dan..”
“Stop. Can you ask me one by one??” Tanya nya memotong kalimatku yang panjang dan memang tak berhenti jika tak dihentikannya.
Aku hanya meringis padanya.
“Akan ku jawab satu-satu. Ini aku, Lee Ki.”
“Wait? Apa tadi aku menanyakan kau Lee Ki atau bukan?”
“Aigoo,,,” ia menyentil jidatku.
“Appo..”
Ia menarik bibirnya kebelakang. Lagi-lagi aku terpesona dengan senyumnya.
“Aku datang karena kau bilang kau hanya bisa hari ini. Akumemang tadi pergi kesana, tapi hanya sebentar. Kenapa akudisini, jawabannya seperti no. 1. Dan pesta ultahnya bukan disini.” Jawabnya dengan sabar.
Aku hanya menyunggingkan senyumku. Tak tahu harus mengatkan apa. Aku terlalu terpesona olehnya.
“Hello…” ia menggerakkan tangannya di depan wajahku.
Kami pun melanjutkannya dengan jalan-jalan disekitar taman hiburan. Aku tak ingin menaiki wahana apapun.
“Lee Ki…”
“Hmn…” ia terus berjalan santai. Aku berhenti sebentar dan melihat punggungnya. “ya, kenapa kau berhenti?” Lee Ki pun kembali untuk berjalan sejajar denganku. “Apa langkahku terlalu lebar untukmu?”
Aku hanya mengangguk. Berjalan sambil menatapnya. Entah kenapa mataku sepertinya panas. Lee Ki, Lee Ki, Lee Ki. Berapa kali pun aku memanggil nama itu, kau tak pernah melihatku atau menoleh padaku.
“Lee Ki…” Panggilku pelan dan melepas tangannya yang tadi menggenggam tanganku. Kutatap wajahnya. Ekspresinya menunjukkan kebingungan. Aku tahu itu. “Lee Ki aku menyukaimu.”
Ia menatapku dengan tatapan tak percaya.
“Lee Ki, mian. Aku menyukaimu, bahkan sangat menyayangimu.”
“Suka? Sayang? Mwoya?” suaranya terdengar dingin. Kutatap wajahnya yang mulai mengeras. Aku tak mengenal wajah ini. Wajah yang selalu kurindukan setiap detiknya, kini berubah menjadi sosok yang berbeda.
“Lee Ki,,,”
“That is bullshit. Sarang, joha. Nan shireo. Geurigu neo,..” ia memberi jarak untu melanjutkan kalimatnya. “Kau menambah daftar kebencianku. You make me disappointed.”
Ia benar-benar kecewa padaku. Aku tak sanggup melihat wajahnya yang mengeras karena marah.
“Don’t say it again. Sekali lagi kau mengatakannya, I swear.. I won’t see you again forever.” Kalimat itu bagai pukulan yang keras. Rasanya langit runtuh saat ini juga. Ia pun pergi.
Anio, aku hanya tak ingin menyesal. Aku tak menyesal mengatakannya.
“Lee Ki,,,” panggilku dengan suara serak, karena memang air mata yang kutahan sejak tadi membuat suaraku hilang. Aku mengejarnya hingga ke jalan raya.
“Mwoya.. jangan katakana apapun, kecuali kau ingin menarik kata-katamu lagi.” Suaranya yang terdengar dalam, menahan amarah. Matanya memerah. aku melihat sisinya yang lain. Aku bahagia.
“Anio, aku tak menyesal. For the last I wanna..”
“Geuman,, geuman,, geumanhaerago…” ia membentak bahkan mengguncangkan tubuhku dengan tangannya yang kekar. Aku juga melihat matanya kini berkaca-kaca.
“Mian,, mianhae, Lee Ki. Nan jeongmal neo joha.” Meski dengan menangis, ku beranikan menatapnya dan mengatakannya dengan tidak ada penyesalan sedikitpun. Karena ini adalah kesempatanku yang terakhir.
“Neo jeongmal… “ ia tak melanjutkan kalimatnya. Ia pun pergi dengan kemarahan yang begitu tak terlihat, aku tak ingin mengikutinya lagi tapi…
“Lee Ki,,, “ seruku dan berlari kearahnya… asalkan kau baik-baik saja, aku tak apa. Aku bahagia. Meski mengenalmu dengan singkat. Tapi itu lebih dari cukup.  Mian..
Writer’s side
Haejoo berseru dan berlari menuju Lee Ki. Lee Ki hilang kendali. Dan…
Lee Ki tergeletak di pinggir jalan. Ia terlihat bingung dengan keadaan yang baru saja terjadi. Kesadarannya belum pulih, bahkan saat orang-orang mulai berkumpul dan melihat seseorang yang terheletak tak jauh darinya. Ia bahkan tak mempercayai apa yang baru saja terjadi.
Air mulai berjatuhan dari langit malam, dan bau darah mulai tercium di udara. Darah dari seorang gadis yang telah menyelamatkannya. Haejoo. Seo Haejoo.
Lee Ki mulai menghampiri tubuh gadis itu dengan gontai. Ia ingin memastikan apa kah itu benar-benar terjadi pada Haejoo.
“Hae… Hae… Haejoo-ya. Haejoo-ya. Ireona, jangan bercanda padaku. Ireona, ppaliwa..” Suarangnya tercekat dan air matanya bersatu dengan air hujan yang mulai membasahi bumi ini. Ia pun merengkuh tubuh Haejoo yang bersimbah darah dimana-mana. “To..tolong.. tolong.. tolong,, panggil ambulance. Panggilkan ambulance.” Pinta Lee Ki dengan lemah, ia memeluk tubuh Haejoo.
Sebelum Lee Ki meminta tolong pun mereka telah memanggilkan ambulance untuk menolong Haejoo. Lee Ki memegangi tangan Haejoo dalam perjalanan ke RS. Ia terus menangis dan juga berdoa, agar tak terjadi apapun Haejoo, gadis yang selama ini juga telah menemaninya.
Haejoo, ppali ireona. Aku akan menjagamu.
Tes… air mata itu jatuh ke tangan Haejoo.
Apa Haejoo akan bangun? Tentu tidak, ini bukan lah dongeng yang sering kita dengar dari ibu menjelang tidur.
Akhirnya, haejoo memang harus terbangun. Bukan bangun dalam artian ia sehat kembali. Ia bangun dari raganya yang memang tak sanggup lagi untuk bertahan.
Ia melihat keluarganya yang memangis diluar ruangan saat operasi sedang berjalan. Ia melihat eommanya yang ada dipelukan appa karena tak sanggup menopang tubuhnya lagi. Ia melihat oppanya yang kini menangis dalam diam sambil menunduk. Dan ada sekyoong yang terus berada disisi oppanya untuk memberinya sedikit kekuatan. Juga ada dia. namja yang sering membuatnya melayang karena bahagia. Haejoo melihat Lee Ki yang kini juga menangis dengan tenang, ia juga masih shock dengan kejadian barusan. Bahkan ia juga tak sadar jika lengannya berdarah.
Dokter keluar dengan wajah lelah. Semua menanti hasil dari operasi yang sedang berjalan.
“Mianhamnida.” Ucap dokter itu dan membungkuk 90 derajat sebagai tanda menyesalnya tak bisa menyelamatkan pasien juga turut berdika cita.
“Andwae,,, dokter kau tak bisa mengatakannya.” Seru eomma dan kini mencengkram baju sang dokter.
“Yeoboo…” ayah haejoo mencegahnya dan menenangkan istrinya. “Bukan hanya kau yang merasa kehilangan. Kami juga merasa kehilangan. Dan bukan hanya kau yang menyayangi Haejoo.. kami semua juga menyayangi Haejoo.” Ucap ayah Haejoo yang mencoba untuk bersabar dan merelakan putri tercintanya untuk pergi selamanya. “Jadi, biarkan Haejoo pergi dengan tenang dan bahagia..” tambah lelaki paruh baya itu dengan tangis yang juga turun secara perlahan.
Yesung lah yang pertama kali langsung berlari menuju kamar operasi untuk melihat adiknya. Ia takpercaya dengan kata-kata dokter itu barusan.
“Maaf, tuan. Anda tidak diperboleh kan ada disini.” Ucap suster mencegah Yesung masuk. “Kami sedang menjahit bekas lukanya.” Tambahnya masih dengan menghalangi Yesung untuk menghampiri adiknya.
“Ya,, dia adikku. Aku harus melihatnya. Dia sedang bercanda denganku. Ia hanya sedang tertidur.” Seru Yesung yang masih tak menerima keadaan sambil menangis.
Oppa… mianhae. Uljima. Jaebal, uljima, oppa. Na.. haenboeghae. Uljima, oppa. Jiwa Haejoo juga menangis melihat oppanya yang seperti itu. Ia juga tak tega. Ia ingin memeluk oppanya, namun ia juga tak dapat memeluknya, jangankan untuk memeluk… menyentuh pun sekarang sudah tak bisa.
Hari pemakaman…
Pemakaman Haejoo banyak dihadiri oleh teman-teman sekelas Haejoo. Mereka semua juga bersedih, karena Haejoo juga termasuk anak yang aktif di sekolah dan pandai bergaul dengan yang lain. Seakan mereka tak percaya, karena baru kemarin mereka ngobrol setelah Haejoo masuk sekolah.
Bahkan bumi juga menangisi kepergian Haejoo. Hujan jugalah yang turut mengantar kepergian Haejoo.

Selamat jalan, Haejoo-ya. Tunggu kami, tak lama lagi kita akan berkumpul lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar